Ben said, Grow As We Go.

adibah amanto
4 min readJul 3, 2020

--

I Like this Song, obviously.

Judul ini sendiri diambil dari salah satu musisi favoritku, Ben Platt. Pitch Perfect (2012) sempat melambungkan namanya di Hollywood. Grow As We Go sendiri menceritakan tentang keinginan untuk bertumbuh dan berkembang sesuai potensi yang diberikan Tuhan atas manusia.

Ooo who said it’s true? That the growing only happen on your own?

… I don’t think you have to leave, if to change is what you need. You can change right next to me. … And grow as we go,

Baru-baru ini sebuah buku karya penulis ‘Disruption’, Mr. Rhenald Kasali, berjudul Self Driving sudah sampai halaman terakhir. Persis seperti apa yang dikatakan Ustadz Adi Hidayat, orang yang beruntung adalah mereka yang bisa paham akan ilmu yang dipelajari, lalu mengamalkannya. Semoga ini menjadi salah satu jalan untuk mengamalkan, sederhananya, mengingatkan.

Bagian ini aku tulis di hari berbeda, setelah beberapa hari writing gaps tentunya. Berbicara tentang motivasi bertumbuh kita bisa menggunakan sebuah alasan sederhana, yaitu ketakutan. Pastinya hal ini akan menimbulkan gerak dua arah, yang pasti ketakutan akan membuat seseorang bergerak. Sama seperti besaran gaya (F) Newton. Hanya saja arah tiap orang berbeda. Itulah yang kurasakan sekarang.

Sebuah status dari teman dekat, setidaknya ia yang terakhir telpon denganku selama hampir 2 jam, mengatakan untuk ‘FACE YOUR FEAR WITH SELF DICIPLINE’. Ia mengingatkanku pada sebuah buku Self Driving.

Sampul merahnya mengingatkan bagaimana untuk kita nikmat Tuhan dengan memaksimalkan kendaraan yang diberikan sejak lahir, disebut “Self”. Dengan prinsip Self Driving manusia dapat mengembangkan maksimal seluruh potensinya hingga mencapai sesuatu yang tak pernah dibayangkan.

Hal ini juga untuk menghapus mentalitas passanger, seperti puas dengan kaadaan sekarang, tidak menyukai tantangan baru, menyerahkan masalah kepada orang lain, takut menghadapi masalah dan takut melakukan kesalahan, serta sifat buruk lainnya. Kita akan mulai membahasnya dengan sedikit prolog 2%.

How to be The 2%.

Sama seperti buku lainnya ada bagian-bagian yang menjadi favorit pembaca. Pak Rehnald menuliskan sebuah fakta menarik dikutip dari seorang sastrawan George Bernard jika “Only two percent of people think; three percent of the people think they are think; and ninety five percent of the people would rather die than think.”

Menarik bukan? Jika benar hanya 2% mahasiswa yang menjadi eksekutif (driver) karena mereka berpikir, lalu pertanyaannya bagaimana cara menjadi 2% tadi? Terlepas dari permasalahan mengapa ada begitu sedikit manusia yang memiliki mentalitas dan kesadaran untuk mengambil risiko menjadi seorang driver.

Dalam bukunya Rhenald menjelaskan ada 4 prinsip untuk menjadi seorang driver, yaitu inisiatif, melayani, navigasi, dan tanggung jawab. Sebelum men-drive country kita harus bisa men-drive diri sendiri, the pople, the organization, lalu the country. Self-driving bisa dimulai dengan meningkatkan karakter seperti disiplin diri (Self-dicipline), mengahdapi risiko, bermain untuk menang, kekuatan berpikir simpel, 2C (critical thingkng dan creative), serta maindset yang tumbuh (growth mindset).

Race to nowhere

Bagian menarik lainnya adalah diambil dari beberapa artikel tentang makna dan hakikat pendidikan, dalam hal ini sekolah. Seperti perlombaan tanpa tujuan, sistem pendidikan kita memang sangat kompleks namun tak cukup memberikan pemaknaan mendalam saat berkontribusi.

Dalam hal ini dilihat dari padatnya mata pelajaran yang akhirnya tak cukup memaksimalkan input ilmu pengetahuan siswanya. Sistem pembelajaran terlalu kognitif dan seringkali para guru merasa hebat bisa siswanya bisa mendapt nilai di atas 80, lalu memandang aneh muridnya yang aktif namun tak dapat menguasai banyak subjek.

Walau undang-undang menjamin pendidikan adalah hak semua rakyat, akan tetapi pemerataan pendidikan masih jauh dari kesadaran untuk membangun SDM berkualitas. Penerimaan sekolah masih sering disandarkan pada nilai kademik tinggi sehingga dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, terutama sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Hal ini pula yang terjadi padaku pribadi saat SMA. Menjadi siswa di antara 2 kelas unggulan secara tak sadar meningkatkan jiwa superioritas dan menurunkan empati. Setidaknya aku berusaha merubahnya saat kuliah.

Secara singkat, betul memang jika menjadi superstar di sekolah tidak menjamin bahwa sukses akan langsung berada di genggaman. Sebagai engingat bahwa di zaman sekarang, ilmu itu tak hanya di dapat dari guru dan sekolah, melainkan dari berbagai resources. Ilmu yang dipelajari di kampus akan cepat ketinggalan zaman, dan semakin adu kejar antar penelitian dan penjelajah ilmu pengetahuan. Sebagian ada di dunia maya, sebagian ada di tangan orang-orang hebat. Menjadi life-long learner adalah sebuah pekerjaan besar dan membutuhkan waktu lama.

Pintar itu bukan hanya tentang berpikir, namun juka menjalankan apa yang dipikirkan, melakukan hubunga ke kiri dan kanan mengambil dan memberi, menulis dan berbicara (Rhenald Kasali).

Sumber : Buku Self Driving karya Rhenald Kasali. Cetakan ke-23 Agustus 2019. Mizan Media Utama, Bandung.

--

--

adibah amanto

-Food Studiest Enthusiast, Nutritionist Student. 24/7 eating and writing, but still have normal life.