Cuci Piring: 4–6 Golden Time

adibah amanto
3 min readJul 4, 2022

--

Apa yang biasa kau lakukan dari jam 4–6. Ini adalah golden time.

Kebanyakan waktuku jika dikos adalah ibadah lalu tidur. Tidak lebih tidak kurang. Masih kuingat bagaimana aktivitasku selama profesi terakhir satu tahun lalu, dan benar saja, setidaknya dua hari sekali aku tidak melewatkan waktu untuk mencuci bajuku dan membersihkan kamar. Karena kondisi kamar biasanya menggambarkan apa yang terjadi diluar. Walau tak sepenunya percaya, tapi melihat kamar rapi tertata jauh lebih baik dibandingkan kondisi fisik dan mentalku yang sering tidak tertatanya.

Biasanya aku juga bisa ke pasar membeli beberapa bahan untuk makan dan snacking seminggu ke depan, atau paling tidak tiga hari ke depan. Lalu aku juga belajar bagaimana mengolah dan menyimpan sayur dan lauk agar bisa tahan hingga beberapa hari. Nice info. Mungkin lain kali akan kubagikan di sini.

Selesai profesi lantas aku memboyong semua barang di kos ke rumah. Yah aku menjadi anak rumahan sekarang. Sejatinya rumahan, karena untuk berinteraksi dengan tetangga saja hanya sepintas dan tidak banyak teman di desa yang bisa kuajak bermain. Lagi pula bermain macam apa yang kuharapkan diusiaku sekarang, jika tidak menghabiskan uang maka akan menghabiskan waktu. Lebih baik aku menenggelamkan diri dalam kolam renang saja. Walau dingin dan membuat tulangku beku tapi aku tidak keberatan.

Setiap hari, sebelum adzan subuh berkumandang, selalu terdengar suara di dapur. Ibu selalu memulai pekerjaan dengan menata piring dan gelas yang telah dicuci ke rak. Karena mereka terbuat dari kaca maka suara ‘prank prenk’ akan terdengar sesaat.

Seolah menjadi alarm otomatisku untuk beranjang dari kasur dan mulai mengambil air untuk berwudhu, bukan, untuk mencuci piring.

Rasa tidak enakan rupanya bisa dibentuk menjadi bentuk bakti kita pada ibu yang telah merawat sejak kecil. Melanjutkan tidur adalah pilihan tidak bijak, walau aku sendiri sering melakukannya di malam-malam penuh dosa dan begadang tanpa artinya. Kata bang Roma Irama memang tidak baik. Saat tangan menyentuh air dan mata terpejam, hal itu cukup membangunkan saraf ngantukku, ibarat mengambil wudhu di sepertiga malam. Sekarang aku mengambil sunlight menjelang adzan.

Mencuci bukan perkara banyak atau sedikit, setidaknya waktuku tidak akan berkurang lebih dari 15 menit untuk menyelesaikannya. Jika sempat dan mood baik biasanya aku segera mengambil wudhu untuk solat, jika tidak maka aku akan rebahan lagi.

Seolah sudah menolong dunia dengan segala masalahnya, tidur setelah subuh bisa menjadi sunah (susah nahan).

Tapi hal itu jarang terjadi, kecuali minggu dan sabtu. Ibu biasanya akan memintaku beli sayur atau makanan jadi, lalu kami memasak di dapur. Bau bawang dan cabai cukup bisa membangunkanmu dari rasa ingin rebahan. Atau tetesan minyak yang terhempas saat kau mencelupkan ikan, serta aroma kuat lada bisa membuatmu bersin-bersin. Kemudian kau tidak punya pilihan selain terus bangun dan membolak-balik sayuran.

Pola ini sedikit demi sedikit membentukku. Jujur saja, tidur diantara jam 4–6 adalah kenicsayaan yang nikmat. Jika tertidur karena terlalu lelah jauh lebih enak dan itu adalah fakta yang menyenangkan. Waktu ini adalah waktu kritis untuk berpikir karena kinerja otak akan mencapai taraf maksimalnya, tapi kenapa kita tetap merasakan ngantuk?

Guruku pernah bercerita jika waktu sebelum dan setelah subuh adalah waktu terbaik untuk menghafalkan Al-Qur;an (ayat suci agama islam), walau kumasih mengeja polanya tapi kupikir ini benar. Saat itu kepala akan dipenuhi dengan

Beragam kata dan rencana, namun jika tetap rebahan makan tak akan terjadi apa-apa. Jadi kenapa aku sekarang mencoba setidaknya sehari sekali untuk mengeluarkan isi kepala yang membuat gerah dan lelah.

Matahari sudah mulai bersinar sekarang, dan waktunya selonjoran di kasur dengan mata terpejam. Selamat pagi semua.

--

--

adibah amanto

-Food Studiest Enthusiast, Nutritionist Student. 24/7 eating and writing, but still have normal life.