Jogja (Sweet) Food: Culture Shock
--
Seminggu pertama kuliah di Jogja, tepatnya empaat tahun lalu masih jernih dalam ingatan bagaimana seseorang mengalami culture shock. Sebagai sebuah bentuk adaptasi jauh dari rumah, walau hanya berjarak 70 km saja. Banyak hal di Jogja yang sangat berbeda dengan di Surakarta, terutama makanannya.
Yah, walau tak se-ekstrem teman-teman yang kuliah dari Sumatra atau daerah timur Indonesia.
Sedikit cerita, walau tinggal di Solo, namun kedua orang tuaku berdarah maluku dan jawa timur. Rasa makanannya sangat berbeda dengan yang di Solo.
Taste maluku akan cenderung dengan hidangan laut sederhana, kuah kuning, dan acar nanasnya. Taste lain Jawa timur pun akan lebih pedas, asam, dan berbumbu. Lalu masakan Solo yang biasanya bening, tak menggunakan banyak bumbu, manis, dan cukup sulit menemui hidangan laut di sini.
Karena termasuk penggemar pedas dan asam, jadi aku sempatkan berkeliling untuk mencari hidangan penuh dengan sambal. Yah kecuali rumah makan padang, itu pilihan terakhir. Ingin rasanya menikmati taste Jogja.
Seperti yang sudah dikenal, Jogja disebut sebagai kota gudeg. Makanan yang terbuat dari gori/ nangka muda ini dipadu dengan gula jawa dan santan. Biasanya dihidangkan dengan berbagai jenis bacem, seperti ayam, tempe, dan tahu. Aku sempat mencicipinya beberapa kali, akan tetapi status mahasiswaku tak memungkinkan untuk menyantapnya setia hari. Karena menggunakan bahan baku gula jawa, jadi memang gudeg terasa sangat manis dan gurih santan.
Sama seperti di Solo, di Jogja juga terdapat angkringan. Kalau di Solo namanya Hik, dibaca Hek. Biasanya ramai diakhir bulan, karena memang selain tempatnya sangat merakyat, harganya sangat mengerti kantong saat sekarat.
Angkringan Jogja kental dengan dua macam masakannya, disamping yang lainnya, yaitu kopi jos dan bebakaran. Kopi yang biasa dicelup arang panas ini memang menjadi daya tarik tersendiri. Rasanya yang nikmat, membuatku heran kenapa tak ada cafe kopi yang menyediakan kopi dicelup arang ini. Mungkin jarang.
Karena tinggal di sekitaran kampus, aku juga mendapati beberapa warung yang menjual makanan sehari-hari. Sejenis warmindo (warung makan indomie) tapi mereka tak berwarna hijau. Satu hal yang baru kusadari saat membeli sebuah ikan pindang pedas di Jogja adalah, rupanya definisi pedas Jogja jauh berada di tingkat bawah dari masakan yang sering kumakan.
Akhirnya aku cukup mengerti kenapa Jogja juga memiliki banyak warung makan padang yang bersahabat, karena mengakomodasi taste sumatra yang memang penyuka pedas dan santan.
Beberapa sayuran dan lauk lain, juga sambal yang ada di angkringan pinggir jalan memiliki taste yang sama. Walau tulisannya terbaca pedas, namun rasanya tetap dominasi manis. Entah berapa cabai merah yang digunakan dalam satu masakan. Warung makan SS, mungkin kalian juga tahu, Serba Sambal juga masih ada dominasi rasa manis pada sambal-sambalnya. Kupikir mereka menggunakan gula agak banyak dalam setiap masakan.
Terlebih es teh dan es jeruk di Jogja. Seringkali aku mengatakan untuk menggunakan gula sedikit, atau kalau tidak kau bisa merasakan seperti minum gula. Beberapa warung dan rumah makan sengaja tidak mengaduk gula dalm minumannya, hal ini sangat membantuku.
Sebagai mahasiswa gizi kesehatan di Jogja, kami diperkenalkan pula dengan sebuah data kesehatan nasional yang terintegrasi, RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar Nasional 2018. Data ini akan diperbarui setiap tahun. Disini juga aku mulai mengenal bahwa Jogja, tepatnya DIY, selalu menemati 5 besar dalam peringkat diabetes selama 10 tahunnya.
Yah walau belum membaca research based-nya, hanya saja, kebiasaan mengonsumsi masakan manis dengan gula ini tak mengagetkanku sama sekali. Walau pun, faktor risiko diabetes itu banyak namun sebagian besar adalah dari pola hidup dan pola makan.
Lalu bagaimana dengan gudeg, apakah juga menjadi faktor risiko meningkatkan kasus diabetes? Nah, kita akan cerita di artikel selanjutnya.
Adibah Rasikhah Amanto, Food Studies Enthusiast.